Sunday, October 19, 2014

Sesak Nafas yang Parah


Heart Failure
SKENARIO 3
Seorang laki-laki berusia 54 tahun, datang ke RS dengan keluhan sesak napas kumat-kumatan sejak 1 bulan yang lalu, memberat sejak 1 minggu terakhir. Sesak napas dirasakan timbul saat aktivitas ringan dan saat berbaring, disertai batuk berdahak warna merah mdua/pink, berdebar-debar, sering terbangun saat tidur, kencing berkurang, kedua kaki tidak membengkak. Satu tahun yang lalu, pernah dirawat di rumah saki karena menderita sakit seru[a. kemudian setelah diberi obat-obatan dan istriahat di rumah sakit, keadaannya membaik.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan data : takanan darah 180/100 mmHg, heart rate120x/menit, teratur, frekuensi napas 32x/menit, suhu badan 36,5°C, JVP meningkat. Inspeksi menunjukkan dinding dada simetris, iktus kordis bergeser ke lateral bawah. Palpasi : iktus kordis di SIC VI, 2 cm lateral linea medioclavicularis sinistra. Perkusi : batas jantung kiri di SIC VI, 2 cm latelat linea medioclavicularis sinistra, batas jantung kanan di SIC V parastrenalis dextra. Auskultasi : bunyi jantung I intensitas meningkat, bunyi jantung II normal, terdapat irama galloo[ S3 dan S4. Pemeriksaan paru didapat vesicular normal, ronki basah basal halus. Pemeriksaan abdomen : didapatkan hepatomegali dan asites.
Pemeriksaan laboratorium kadar Hb 14 gr/dl, serum ureum 65 serum kreatinin 1.4. pemeriksaan ECG didaptkan irama takikardia, left Atrial Hipertrophy dan Left Ventricle Hypertrophy. Foto thorax tampak kardiomegali dengan CTR 0,70, apex bergeser ke lateral bawah,m pinggang jantung menonjol, vaskularisasi paru meningkat. Pada pemeriksaan analisis gas darah menunjukkan aisdosis metabolic terkompensasi.
klarifikasi istilah
  1. LVH (Left Ventrikel Hipertrofi) : ventrikel kiri jantung membesar, terjadi pada hipertensi, terganggunya proses diastole
  2. LAH (Left Atrium Hipertrofi) : atrium kiri jantung membesar, akan menggangu terjadinya proses systole
RESULT
Berdasarkan anamnesis, hasil pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang pada penderita tersebut, kemungkinan penderita menderita gagal jantung kongestif. Gagal jantung tersebut disebabkan oleh hipertensi yang penderita derita. Adanya peningkatan JVP, hepatomegali, dan ascites pada pemeriksaan fisik mengarah pada dugaan gagal jantung kanan. Selain itu, penderita sering terbangun saat tidur ini menandakan dispnea nokturnal paroksismal, pembesaran jantung, takikardia, bunyi jantung ketiga (S3) gallop, ronki basah halus di basal parupada pemeriksaan fisik mengarah pada dugaan gagal jantung kiri. Ditemukan pulasesak napas penderita pada aktivitas ringan dan mau tidur serta auskultasi paru didapatkan suara vesikuler menyingirkan dugaan kelainan penderita akibat sistem pernapasan. Berikut ini adalah hasil analisis lebih lanjut penulis terhadap kasus dalam skenario.
Pada penderita hipertensi, tahanan perifer sistemik menjadi lebih tinggi dari orang normal akibat adanya vasokontriksi pembuluh darah. Itu berarti ventrikel kiri harus bekerja lebih keras untuk melawan tahanan tersebut agar ejeksi darah maksimal sehingga suplai darah ke semua jaringan tercapai sesuai kebutuhannya. Ventrikel kiri kemudian mengompensasi keadaan tersebut dengan hipertrofi sel-sel otot jantung. Hipertrofi ventrikel kiri (left ventricle hyperthropy, LVH) memungkinkan jantung berkontraksi lebih kuat dan mempertahankan volume sekuncup walaupun terjadi tahanan terhadap ejeksi. Namun, lama kelamaan mekanisme kompensasi tersebut tidak lagi mampu mengimbangi tekanan perifer yang tetap tinggi. Kegagalan mekanisme kompensasi menyebabkan penurunan kontraktilitas ventrikel kiri. Penurunan kontraktilitas ventrikel kiri akan diikuti oleh penurunan curah jantung yang selanjutnya menyebabkan penurunan tekanan darah. Semua hal tersebut akan merangsang mekanisme kompensasi neurohormonal seperti pengaktifan sistem saraf simpatis dan sistem RAA (renin-angiotensin-aldosteron).
Pengaktifan sistem saraf simpatis akan meningkatkan kontraktilitas jantung hingga mendekati normal. Hal itu terjadi karena saraf simpatis mengeluarkan neurotransmiter (norepinefrin-NE) yang meningkatkan permeabilitas Ca2+ membran. Hal tersebut meningkatkan influks Ca2+ dan memperkuat partisipasi Ca2+ dalam proses kontraksi sel. Selain itu, stimulasi simpatis juga menyebabkan vasokontriksi perifer yang bertujuan mencegah penurunan tekanan darah lebih lanjut. Di sisi lain, penurunan curah jantung menyebabkan penurunan perfusi jaringan organ tubuh lainnya. Salah satunya adalah ginjal. Penurunan perfusi darah ke ginjal merangsang ginjal untuk menurunkan filtrasi dan meningkatkan reabsorbsi. Peningkatan reabsorbsi inilah yang menyebabkan kencing penderita berkurang dan peningkatan kadar serum ureum (65 mg/dl) di mana harga rujukannya sebesar 10-50 mg/dl.    Walaupun terjadi penurunan filtrasi glomerulus, dalam keadaan mantap stabil laju filtrasi kreatinin sama dengan laju ekskresinya. Hal inilah yang menyebabkan kadar kreatinin serum penderita sebesar 1,4 mg/dl masih mendekati batas normal (normal 0,6-1,3 mg/dl). Kedua hal di atas menunjukkan adanya penurunan fungsi ginjal. Penurunan perfusi ginjal juga merangsang sel-sel juxtaglomerulus untuk mensekresi renin. Kemudian renin menghidrolisis angiotensinogen menjadi angiotensin I yang selanjutnya oleh angiotensin converting enzyme (ACE) akan diubah menjadi angiotensin II. Angiotensin II kemudian ditangkap oleh reseptornya di pembuluh darah (vascular ATR1) dan terjadi vasokontriksi. Bila angiotensin II diterima oleh reseptor sel korteks adrenal (adrenal ATR1) maka korteks adrenal akan mensekresi aldosteron. Aldosteron kemudian diikat oleh reseptornya di ginjal. Proses tersebut membuka ENaC (epithelial Na Channel) yang menyebabkan peningkatan retensi Na+. Karena Na+ bersifat retensi osmotik, peningkatan Na+ akan diikuti peningkatan H2O. Hasil akhir semua proses tersebut adalah peningkatan aliran darah balik ke jantung akibat adanya peningkatan volume intravaskuler.
Pada stadium awal gagal jantung, semua mekanisme kompensasi neurohormonal tersebut memang bermanfaat. Akan tetapi, pada stadium lanjut, mekanisme tersebut justru semakin memperparah gagal jantung yang terjadi dan dapat menyebabkan gagal jantung tak terkompensasi. Mengapa hal tersebut dapat terjadi? Pertama, setelah terpajan dalam jangka waktu yang lama, jantung menjadi kurang tanggap terhadap NE. Akhirnya kontraktilitas jantung kembali menurun.         Kedua, aktivitas simpatis dan RAA tetap terjadi. Akibatnya vasokontriksi, retensi cairan, peningkatan preload, dan peningkatan afterload tetap terjadi. Sel-sel ventrikel semakin terenggang dan kekuatan kontraksinya semakin menurun. Ventrikel kiri semakin tidak mampu memompa darah ke sistemik. Darah menjadi terbendung di atrium kiri menyebabkan hipertrofi atrium kiri (left atrium hyperthropy, LAH) sebagai mekanisme kompensasi. Hipertrofi ventrikel akan menggeser letak musculus papillaris sehingga dapat terjadi regurgitasi mitral fungsional (terdengar sebagai bising pansistolik di apex yang menjalar ke lateral). Hal itu semakin memperberat kerja jantung dan penanda adanya pembesaran jantung (kardiomegali) selain ditunjukkan oleh ictus cordis yang bergeser ke lateral bawah dan batas jantung kiri bergeser ke lateral bawah serta foto thorax CTR 0,60. Lama kelamaan akan terjadi kongesti di vena pulmonalis. Tekanan intravaskuler vena pulmonalis yang semakin tinggi menyebabkan cairan terdorong keluar dan terjadilah edema paru. Edema paru menyebabkan pasien sering merasa sesak napas saat beraktivitas ringan dan berbaring sebagai kompensasi akibat lumen bronkus dan alveolus mengecil yang menyebabkan pertukaran gas terganggu. Mungkin itu menjadi salah satu penyebab pasien sukar tidur. Pada edema paru, alveolus yang tergenang cairan transudasi yang menimbulkan suara ronki basah basal halus saat auskultasi. Di sisi lain, jaringan sistemik semakin kekurangan O2 dan proses metabolisme pun berubah menjadi metabolisme anaerob. Akibatnya terjadi peningkatan produksi asam laktat yang menyebabkan asidosis metabolik. Selain itu, pada gagal jantung kiri asidosis metabolik disebabkan oleh oksigenasi arteri berkurang dan peningkatan pembentukan asam di dalam darah akibat adanya penurunan pertukaran O2 dan CO2 di dalam alveolus paru. Peningkatan ion hidrogen [H+] merangsang kemoreseptor sentral sehingga terjadi hiperventilasi.
Pada pasien ditemukan adanya asidosis metabolik terkompensasi. Kondisi ini menggambarkan adanya penurunan pH akibat penurunan kadar HCO3- dalam darah dan terkompensasi oleh peningkatan ventilasi paru (hiperventilasi) yang akan menurunkan PCO2 dan penambahan bikobarbonat baru ke dalam cairan ekstraseluler oleh ginjal. Keadaan hiperventilasi pada pasien dapat ditunjukkan oleh adanya respiration rate sebesar 32 kali/menit. Penatalaksanaan yang dapat diberikan pada pasien adalah pemberian venodilator dan vasodilator untuk menurunkan preload dan afterload. Selain itu pasien juga perlu diberi obat-obatan inotropik seperti digitalis untuk meningkatkan kontraktilitas jantung. Terapi non-farmakologis pada penderita dapat dilakukan berupa mengurangi asupan lemak, garam sera minuman alhokol, mengurangi atau menurunkan berat badan, latihan atau olah raga, dan berhenti merokok
Note : pembahasan skenario ini belum membahas banyak aspek, mohon dimaklumi :)
           in progress....

No comments:

Post a Comment